Panti asuhan di Jeugdzorg memiliki 70 anak dan karya tersebut berjalan dengan baik, namun Sr. M. Hildebrand tidak sabar menunggu bantuan, seperti yang beliau sampaikan, “Dengan banyaknya pekerjaan yang harus dilakukan, sulit bagi para suster untuk memiliki kehidupan komunitas yang baik. Singkat cerita, pada November 1933, datang lagi 5 orang suster dan 3 diantaranya yakni Sr. Hermelinda, Sr. Wulpha, dan Sr. Fregalda memulai misi di Buitenzorg. Panti anak di Buitenzorg dipimpin oleh M. Hildebrand dan merangkap sebagai direktris karya, M. Perpetuus (Maria Christine Komen) bertanggung jawab di ruang linan / sprei dan mengurus anak-anak panti asuhan. Sr. Waldeburga (Maria Grauel) mengajar di Sekolah Kepandaian Putri dan mengawasi anak-anak yang tinggal di asrama. Sr. Hermelinda (Catharina Spieker) bertanggung jawab di sakristi dan di dapur.

Singkat cerita, panti asuhan dipindah ke Jalan Raya No. 2, Buitenzorg, menempati gedung sekolah milik OSU (Ursulin) yang selama perang menjadi kamp laki-laki. Sejak saat itu, karya panti asuhan dan SKP, di Buitenzorg berkembang, dan bidang pendidikan menjadi prioritas utamanya. Sebelum perang, Mrs. Schmutzer-Hendrikse berharap sekolah itu akan dipindahkan ke lokasi lain, bangunan yang telah dibangunnya akan dibongkar.

Memasuki tahun 1942, ketika Jepang masuk dan menjajah Indonesia, para suster diusir oleh tentara Jepang. Akibat dari perang tersebut suasana kegiatan belajar di Panti Asuhan dan SKP menjadi kacau dan terhambat. Setelah perang Jepang (sekitar 1945), Sekolah Kepandaian Putri tidak ada lagi, jadi para suster mencari solusi yang tidak terlalu drastis, misalnya seperti membayar kembali uang untuk bangunan itu.